Ticker

6/recent/ticker-posts

Senjakala Gerakan Moral Mahasiswa dan Keharusan Membangun Gerakan Politik

Peran gerakan mahasiswa dalam dinamika perubahan kekuasaan di Indonesia memiliki pengaruh yang cukup penting, seperti pada masa perjuangan kemerdekaan, masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan, masa jatuhnya Soekarno yang kemudian melahirkan era Orde Baru dan juga pada masa reformasi yang melengserkan rezim Soeharto. Mencuatnya gerakan mahasiswa dengan label heroism seperti agent of change, iron stock, moral force & social control bukanlah sesuatu yang begitu saja terjadi. Dalam menjalankan aktivismenya selain labelisasi mahasiswa juga dikonstruksi bak Koboy atau Resi’ (dalam konteks masyarakat Jawa), yang tidak memiliki kepentingan kekuasaan dalam hati dan kepala mereka. Sebagaimana seperti seorang Resi’, mereka datang ketika keadaan sudah genting dan dengan kekuatan moral, mencoba menjadi roda penggerak perubahan tanpa bergerak bersama kelompok lain.

Pada posisi inilah gerakan moral merupakan gerakan pemecah belah, itu karena gerakan ini menolak membangun aliansi dengan organisasi atau gerakan sosial lain atas nama kemurnian gerakan dan terhindar dari kepentingan politik lain. Seperti yang belakangan sering terjadi dalam beberapa dokumentasi yang memperlihatkan aksi-aksi Mahasiswa yang dipelopori BEM-SI atau Aliansi Mahasiswa Indonesia yang membuat border sesama barisannya untuk mengeksklusi massa aksi yang tidak beralmamater sebagai penyusup dan bukan menjadi bagian dari gerakan.

Dalam karyanya La Trabison des Clercs, Julian Benda menggambarkan cendikiawan sebagai sosok manusia ideal yang berprinsip “kerajaanku bukan di bumi ini”. Artinya para cendikiawan dikonstruksi sebagai manusia yang tidak memiliki kepentingan duniawi, para cendikiawan yang terlibat dalam dunia perpolitikan, bagi Julian Benda dilihat sebagai wujud dari “Penghianatan Intelektual”. Karya Julian Benda tentang “Penghianatan Kaum Intelektual” ini merupakan pondasi dari gerakan moral di Indonesia. Para pioner kekuatan moralitas ini seperti Soe Hok Gie dan Soe Hok- djin (Arief Budiman), dua orang saudara yang kuliah di Universitas Indonesia dan juga mahasiswa angkatan 66’. Sunyoto Usman dalam artikel jurnal berjudul “Arah Gerakan Mahasiswa: Gerakan Moral ataukah Gerakan Politik?” (1999) mengartikan gerakan moral sebagai gerakan yang meletakkan energi mahasiswa hanya sebagai pendobrak ketika institusi birokrasi dan institusi politik tidak bisa memainkan peran sesuai dengan tuntutan sektor publik, gerakan tersebut hanya untuk meluruskan. Sedangkan gerakan politik dimaknai sebagai gerakan riil dalam percaturan politik yaitu dengan masuk lembaga eksekutif atau legislatif atau lebih tepatnya menjadi politisi profesional.

Konstruksi superioritas mahasiswa tersebut dilakukan oleh rezim Orba dengan melakukan depolitisasi identitas dan untuk membedakannya dengan Pemuda yang konstruksi pemaknaannya merupakan para nasionalis pejuang kemerdekaan, penentang penjajahan, memiliki keberanian yang kuat dan lebih dekat gerakan kiri di Indonesia. Apabila gerakan Pemuda tahun 1928 adalah gerakan moral maka dapat dipastikan saat ini Indonesia tidak akan pernah ada. Transformasi gerakan mahasiswa tidak sebatas moral force namun harus bergerak menjadi satu bentuk entitas politik baru, karena apabila gerakan mahasiswa hanya berangkat dari moral dalam artian menyampaikan kebenaran, penyambung lidah rakyat yang sering direfleksikan selama orde baru hingga pasca reformasi, tentunya kita hanya akan berada di siklus yang sama. Seperti mitos kutukan Sisyphus yang terus-menerus mendorong sebuah bongkahan batu besar ke atas puncak bukit. Setelah sempat merasakan kelegaan sedikit saat di puncak, batu besar itu menggelinding kembali ke kaki bukit untuk kembali didorong ke atas bukit berulang-ulang. Kita tergabung dalam sebuah organisasi gerakan masuk dalam dunia kerja, berkeluarga, dan pada akhirnya meninggalkan organisasi gerakan hingga digantikan oleh generasi penerusnya, begitu seterusnya tanpa ada hasil yang berarti. Maka dari itu teori menjadi penting walaupun pada akhirnya teori yang kita pelajari hanya untuk memberikan eksplanasi terkait kegagalan yang dilakukan organisasi-organisasi progresif.

Bahwa agar kita tidak terjatuh pada fundamentalisme aksi yang tidak jarang sporadis dan per-episode tanpa hasil yang cukup berarti, penting untuk merumuskan apa yang menjadi agenda panjang gerakan mahasiswa. Seharusnya kita bertanya kemana arah perlawanan kita selama ini? Kita perlu belajar dari keberhasilan gerakan pendidikan di Chile hingga menciptakan pendidikan gratis sampai jenjang perguruan tinggi yang tentunya tidak lahir karena slogan agent of change dan sebagainya melainkan gerakan pelajar di Chile sangatlah politis. Hal ini disebabkan banyaknya aktivis federasi mahasiswa yang bergabung dengan partai politik dan interaksi dengan kelas pekerja dan rakyat miskin di negaranya.

Lalu, apa yang bisa kita pelajari dari keberhasilan gerakan pemuda pelajar dan mahasiswa di Chile?

Pertama, gerakan mahasiswa di Chile tidak membangun gerakan yang hanya mengapung di atas dunianya sendiri, yang terkurung dalam tembok-tembok kampus. Sekalipun mengangkat isu pendidikan, jangkauannya bukan hanya mahasiswa, pelajar, dosen, guru-guru, atau pemerhati pendidikan. Mereka menjangkau seluruh orang yang berkepentingan dengan pendidikan, seperti buruh, petani, masyarakat adat, dan lain-lain.

Tahun 2011, mereka pernah menggelar aksi yang disebut “Marcha familiar por la educación”. Aksi ini tak hanya memobilisasi pelajar, mahasiswa, guru-guru, dan dosen, tapi juga orang tua dan masyarakat umum. Dukungan orang tua dan masyarakat umum itu memang tidak terjadi tiba-tiba. Ada faktor objektif yang mendorongnya, yaitu dampak neoliberalisme pendidikan yang menutup akses masyarakat luas terhadap hak atas pendidikan.

Namun, ada juga faktor yang diciptakan sendiri oleh gerakan mahasiswa, yaitu terciptanya sebuah ruang yang memungkinkan gerakan mahasiswa dan masyarakat luas untuk duduk bersama, mendiskusikan beragam persoalan, lalu menyusun resolusi bersama. Ruang itu adalah majelis-majelis, yang sifatnya terbuka, demokratis, dan memperlakukan semua partisipan secara setara. Ada majelis berbasis teritori, yang memungkinkan gerakan mahasiswa berdialog dengan masyarakat luas. Strategi memungkinkan gerakan mahasiswa meraih dukungan luas dari masyarakat.

Kedua, secara umum gerakan mahasiswa Chile tidak memunggungi perjuangan politik. Malahan, beberapa tokohnya, seperti Camila Vallejo, Karol Cariola, Gabriel Boric, dan Giorgio Jackson, adalah kader-kader partai Izquierda Autónoma (IA), gerakan kiri yang berusaha memadukan antara marxisme dan prinsip otonomisme. Partai ini banyak menggarap aktivis mahasiswa.

Gabriel Boric, tokoh gerakan mahasiswa di Chile yang terpilih menjadi Presiden Chile di usia 35 tahun pun mengakui bahwa gerakan yang dipimpinnya kala itu tak bisa bertahan hanya sebagai gerakan sosial, namun juga harus membangun gerakan sosial sebagai sebuah ekspresi politik. Baginya, gerakan sosial tanpa ekspresi sosial hanyalah penuntut biasa di depan pemerintah. Belajar dari berbagai mobilisasi sosial berskala besar di Amerika latin sepanjang tahun 2000-an, ada yang berhasil merebut gedung parlemen, mengepung istana Presiden, bahkan menggulingkan Presiden, tetapi tak berhasil menaklukkan kekuasaan dan mendorong transformasi sosial yang radikal. Pengalaman Boric bukanlah pengalaman yang unik dalam konteks Chile. Banyak mantan pimpinan aktivis mahasiswa yang sepantaran dengannya juga melihat pentingnya melanjutkan platform politik perjuangan semasa mahasiswa tersebut ke dalam agenda politik organisasi. 

Sejarah revolusi yang sukses menunjukkan, agar energi rakyat tak sia-sia dan bisa mengubahnya menjadi kekuatan yang mendorong perubahan, sebuah organisasi politik sangat dibutuhkan. Chantal Mouffe, dalam bukunya “For a Left Populisme”, juga memberi penekanan yang sama. Tanpa membangun artikulasi dengan organisasi politik, sulit bagi gerakan sosial untuk memenangkan tuntutan yang berdampak pada perubahan sosial. Sekalipun gerakan protes tersebut memiliki peran penting dalam membangun transformasi kesadaran politik, tetapi hanya jika diikuti dengan gerakan politik yang terstruktur melalui kerja sama dengan institusi politik, hasil yang signifikan dapat tercapai.

Ketiga, alih-alih menumpangkan nasib dan perjuangannya pada partai-partai tradisional, para aktivis ini memilih partai progresif atau mendirikan partai alternatif. Partai alternatif ini menekankan prinsipnya pada platform anti-neoliberalisme, demokrasi partisipatoris, dan independensi dari kelompok bisnis (oligarki).

Rakyat Bersatu tak Bisa Dikalahkan! : Keberhasilan Gerakan Pendidikan di Chile Menciptakan Pendidikan Gratis

Keberhasilan gerakan pemuda pelajar mahasiswa di Chile adalah berhasilnya gerakan tersebut merumuskan satu hal bahwa ada agenda progresif jangka panjang yang harus dikerjakan. Apa yang menjadi target strategis jangka panjang dan target taktis jangka pendek yang mungkin dicapai. Bukan mereduksi gerakan hanya sebatas action, mobilisasi atau menggunakan yel-yel “alerta-alerta” untuk memanggil pada momen-momen tertentu saja yang hanya tak jarang berakhir chaos dan mengaburkan substansi isu yang menjadi tuntutan. Contoh reduksionis yang lumayan fatal seperti aksi pada tanggal 11 April 2022 terkhusus isu soal menolak kenaikan BBM jenis pertamax, menolak kenaikan Ppn 11% namun di sisi lain menuntut redistribusi kekayaan a la walfare-state yang dengan sendirinya kontradiksi apabila ditempatkan pada konsep strategi-taktik jangka panjang dan jangka pendek maka hasilnya carut marut.

Yang harus kita kritisi belakangan semisal ada public policy atau undang-undang yang sah hari ini apakah kemudian itu disebabkan karena gerakan kita ataukah ada faktor lain yang mendorongnya? Supaya tindakan politik kita juga tidak mengklaim anasir lain. Semisal RUU TPPKS (tindak pidana penghapusan kekerasan seksual) yang belakangan marak disuarakan oleh beberapa NGO dan gerakan feminis, seberapa besar variabel gerakan yang kemudian bisa mendorong dan menggoalkan tuntutan itu sampai disahkan sebagai Undang-undang? Atau justru secara moral wakil-wakil rakyat di Parlemen mengamini bahwa kesetaraan gender sudah menjadi common sense secara Internasional sehingga mengharuskan para “borjuis” juga mengadopsi nilai-nilai itu. Maka dari itu teori menjadi penting bahwa ini tidak sebatas menuntut perubahan tapi sudah benarkah interpretasi kita tentang kondisi sosial yang ingin diubah dan bagaimana posisi kita ketika mengubah kondisi sosial? Jangan-jangan dunia atau kondisi sosial itu berubah tanpa perlu kita mengubahnya.

Untuk menjawab kebuntuan gerakan mahasiswa, kini gerakan mahasiswa harus menjadi satu gerakan politik dikarenakan gerakan moral akan menghadapi kebuntuan dan kehabisan nafas. Mahasiswa akan silih berganti dalam gerakan, para senior akan menjadi borjuis baru kemudian kawan atau generasi setelahnya melabelinya sebagai penghianat, penjilat dan bejibun label buruk lainnya. Padahal kita tidak pernah merumuskan bagaimana struktural, sistem dan proyeksi yang diciptakan dalam gerakan sehingga memfilter kader-kader yang punya potensi yang bisa dimaksimalkan untuk berguna bagi gerakan secara keumuman. Itu lebih penting untuk dipikirkan bersama, karena kalau hanya menyalahkan maka kita sudah lakukan itu sejak tahun 1998 bahkan 1966 yang tidak membuat kita kemana-mana dengan struktural gerakan yang masih seperti ini.

Bagaimana Aktivis Mahasiswa Mengubah Wajah Politik Chile?

Apa yang sebenarnya ingin kita capai atau apa tujuan dari gerakan mahasiswa itu sendiri?

Menurut Alain Badiou saat ini kita sedang berada dalam fase disorientasi sosial, saat ini kita serba kebingungan. Pada dasarnya permasalahan kita adalah konflik kelas yang banyak dimensi lain di dalamnya seperti persoalan identitas, gender, postkolonial, kultural sampai ekonomi. Posisi gerakan mahasiswa harus dapat meredefinisi sebagai suatu entitas dan memetakan apa yang sebenarnya ingin dituju pada titik tertentu oleh mahasiswa. Gerakan mahasiswa sebagai sayap dari gerakan politik yang jauh lebih panjang maka determinasinya adalah ideologi. Kristalisasi ideologi harus terang bukan hanya keberpihakan pada rakyat tanpa bisa memetakan apa yang ingin kita gapai, secara struktural organisasi yang tidak terorganisir dan tidak mampu memenej dengan baik ditambah disorientasi tujuan sehingga mana yang jadi perdebatan ideologis dan mana yang jadi perdebatan teknis menjadi campur aduk dan tidak bergerak kemana-mana, regenerasi yang terus berganti seiring berjalannya waktu dan kita terjebak pada satu aktivisme belaka, mengutip Zizek “Kita mengatakan di ujung terowongan ada cahaya tapi ternyata di ujung terowongan itu adalah kereta dari arah yang sebaliknya”. Sekali lagi yang menjadi penting adalah kita tahu apa yang ingin kita tuju di depan.

Partai sampai saat ini masih menjadi alternatif untuk menjembatani antara teori dan praktik antar sektoral, untuk menjembatani program yang ingin dicapai bersama harus terorganisir dalam satu tindakan politik yang memiliki arah dan posisi itu harus dipegang oleh partai. Tapi jika ditanya partai seperti apa tentu eksperimennya macam-macam dan masih tetap dilakukan hingga hari ini. Karena jika hanya melalui ekstra-parlementer yang konvensional kita juga perlu mengkaji dalam situasi dan kondisi seperti apa pemerintah mau mendengarkan kebenaran yang diteriakkan dari luar atau ketika tidak mau mendengarkan suara dari luar? Dalam situasi krisis kah? Aksi yang chaos dengan eskalasi massa yang membludak di berbagai daerah kah? Atau harus ada satu gerakan yang terorganisir dan terlibat langsung masuk ke dalam lapangan pertarungan? Dari arena yang akan membuat kebijakan publik.

Sebab kita juga memiliki banyak pengalaman mobilisasi masif yang terkulminasi pada tahun 2020 lalu dengan adanya mobilisasi anti-omnibus law. Soalnya adalah, hingga kini kita belum mampu meneguk keuntungan dari mobilisasi perlawanan ini. Bahkan rezim elite yang berkuasa kini masih dengan seenaknya mempromosikan serangkaian kebijakan anti-rakyat. Dalam hal ini, kita bisa melihat bahwa mobilisasi, sebesar apapun, tidak lagi mencukupi. Perlu ada perlawanan yang lebih terorganisir, yang mengusung agenda rakyat untuk tidak sekadar melawan tapi juga menawarkan alternatif kebijakan, sebagaimana yang terjadi di Chile. Jika di Chile bisa dilakukan, mengapa di Indonesia tidak?
Yang terjadi di Indonesia justru gerakan mahasiswa hanya dikonstruksi sebatas gerakan moral yang sifatnya hanya korektif terhadap kebijakan atau peraturan perundang-undangan, hanya sebatas pendobrak ketika institusi birokrasi dan institusi politik tidak bisa memainkan peran sesuai dengan tuntutan sektor publik, gerakan yang akan kehabisan nafas sebelum tuntutan seluruhnya diakomodir atau bahkan hanya ditunda pemberlakuannya sampai saat pemerintah menemukan celah untuk memutuskan atau memberlakukan kebijakan juncto undang-undang yang ditolak oleh massa aksi contoh; disahkannya UU Minerba, UU Cipta Kerja pada saat pandemi dan pemberlakuan pembatasan sosial. Jika hanya bertumpu pada parlemen jalanan tanpa merumuskan target strategis jangka panjang dan target taktis jangka pendek yang mungkin dicapai tanpa membangun artikulasi dengan organisasi politik dan tanpa diikuti dengan gerakan politik yang terstruktur melalui kerja sama dengan institusi politik, maka lagi-lagi gerakan hanya akan menemukan kebuntuan.
Belakangan isu partai mahasiswa jadi bulan-bulanan aktivis gerakan berbagai elemen, tentu partai ini tidak bisa diharapkan terlalu jauh jika melihat orang-orang dan latar belakang yang menjadi sebab berdirinya. Namun apresiasi terhadap gagasan dan keinginan mereka dalam berpartai dan kemauan mahasiswa untuk terlibat dalam politik adalah hal yang baik. Justru yang perlu didekonstruksi adalah narasi mahasiswa itu harus netral dan berjarak dari kekuasaan karena itu adalah narasi yang naif ketika menginginkan suatu perubahan politik yang bisa kita pelajari dari keberhasilan gerakan pemuda pelajar mahasiswa di Chile yang juga terlibat aktif dalam partai politiknya masing-masing.

Mahasiswa indonesia harus clear menjadi bagian dari salah satu agenda politik tertentu. Bagian dari agenda politik Radikal, Moderat, Konservatif, Religius, Nasionalis, atau Progresif. Bagian dari partai pemenang pemilu atau pendatang baru seperti Partai Buruh, Partai Hijau Indonesia sampai Masyumi Reborn atau bahkan membentuk partai alternatif progresif a la Chile, apapun bentuknya yang paling penting adalah membangun artikulasi dengan organisasi politik dan dan diikuti dengan gerakan politik yang terstruktur melalui kerja sama dengan institusi politik.

Gerakan mahasiswa harus dikristalisasi sehingga kedepannya jika ada diskursus publik yang naik ke permukaan maka posisi gerakan mahasiswa menjadi jelas. Walaupun tidak bisa dipungkiri untuk saat ini arah kebijakan partai-partai yang ada kebanyakan mengarah pada kebijakan neoliberal yang kanan meskipun slogan-slogan yang ingin dicapai adalah kesejahteraan sosial yang cenderung ke arah kiri. Namun tidak ada satupun dari partai-partai yang ada mengaku berideologi liberal atau sosialis sekalipun.

Kalaupun ke depan ada partai yang melegitimasi neoliberal sebagai haluannya maka menjadi jelas dan terang sehingga massa mengambang (floating mass) dapat berakhir. Kita akan maju melalui perdebatan dan diskursus bahwa hal-hal yang ideologis yang akan kita turunkan menjadi program-program ke depan dan menjadi satu hal yang jelas. Tidak lagi slogan retoris kerakyatan dan populis namun terselubung di dalamnya kebijakan neolib yang sama sekali tidak berpihak pada rakyat. Untuk membongkar itu mahasiswa harus berani berpendapat dan mau terlibat dalam agenda politik yang lebih serius salah satunya berpartai.

Tugas kita bersama saat ini adalah bagaimana gerakan mahasiswa, pelajar dan pemuda yang ada saat ini menjadi satu gerakan politik yang terintegrasi dengan gerakan massa rakyat luas lainnya, bagaimana gerakan progresif harus menavigasi ulang dan menyusun apa target yang ingin dicapai, apa yang ingin diubah, apa masterplan besar dari gerakan progresif yang ada di Indonesia yang selama ini kita absen darinya. Menolak agenda neoliberalisme dalam satu kebijakan dan sebagainya adalah satu kemajuan gerakan untuk terlibat dalam mobilisasi besar, yang harus kita ingat selama gerakan itu tidak koheren dengan program politik gerakan progresif maka selama itu juga gerakan itu akan mudah dipatahkan.

Selama gerakan progresif tidak punya program untuk menjawab persoalan-persoalan real, maka saat itu juga setiap gerakan akan gampang dipukul mundur. Apabila persoalan zaman yang dijawab oleh pemuda di tahun 1928 adalah kolonialisme, kemerdekaan, dan membangun imajinasi tentang sebuah bangsa yang hari ini menjadi Indonesia, maka tugas kaum muda Indonesia hari ini adalah memastikan transfer kekayaan dari para oligarki yang ada pada hari ini dan menolak relaksasi pajak yang memanjakan dan memupuk kapital mereka, membangun sumber daya terbarukan yang dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat dan menghapuskan sumber daya yang merusak dan mengotori lingkungan, menghapuskan utang luar negeri, membangun industrialisasi nasional dan nasionalisasi industri vital dan pertambangan yang menjadi hajat hidup orang banyak di bawah kontrol rakyat yang kuat yang akan membuat rakyat Indonesia berdaya, agar imaji tentang bangsa yang berdaulat adil dan makmur dapat terwujud saat dipimpin oleh generasi muda yang memastikan keadilan dan kesejahteraan Indonesia dapat terwujud di satu abad kelahirannya.

Ditulis oleh: Hanifiansyah Ilham Nugroho (Formatur HMI Cabang Jakarta Raya) 

Posting Komentar

0 Komentar