Oleh: Dr. Mohammad Nasih, Pengasuh Rumah Perkaderan dan Tahfidh al-Qur'an Monash Institute, Pengajar di FISIP UMJ dan Pascasarjana Ilmu Politik UI.
Perkenalanku dengan Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) terjadi saat aku menjalani Ospek di Jurusan Fisika IKIP
Negeri Semarang (sekarang UNNES) tahun 1997. Ketua Umum Komisariat Ki Hajar
Dewantara yang meliputi Fakultas Pendidikan Teknik dan MIPA adalah mahasiswa
Jurusan Fisika. Mas Khalil namanya. Dia mendekatiku dan mengajakku berdiskusi
tentang isu keislaman dan tentu saja kemahasiswaan. Ujungnya bisa ditebak, dia
mengajakku untuk bergabung menjadi anggota HMI. Aku tidak mengiyakan. Sebab,
sejak dari kampung, karena keluargaku berlatar belakang santri NU, niatku masuk
organisasi kemahasiswaan underbow NU. Bahkan beberapa senior di kampung yang
sudah kuliah di IAIN, berpesan agar jangan sampai lepas dari tradisi aswaja,
singkatan ahlu al-sunnah wa al-jama'ah.
Singkat cerita, aku mendatangi forum bersama yang di dalamnya para pimpinan organisasi ekstra kampus tampil menyampaikan ide/gagasan mereka. Ada tiga pimpinan organisasi ekstra kampus yang saat itu tampil; HMI, PMII, dan IMM. Dari forum itu, aku tahu bahwa ada pesepsi keliru pada sebagian mahasiswa bahwa HMI dianggap underbow Muhammadiyah. Aku jadi yakin karena ada IMM (Ikatan Mahasasiswa Muhammadiyah) yang dari namanya saja sudah sangat jelas afiliasinya. Langsung kutarik kesimpulan bahwa HMI bukan underbow Muhammadiyah. Dan memang HMI adalah organisasi kemahasiswaan independen yang para aktivisnya berlatar belakang sangat beragam; Muhammadiyah, NU, dan lain-lain. Aku justru memiliki ketertarikan baru.
Dalam pikiranku, justru di sinilah aku akan tahu banyak hal
yang sebelumnya tidak kutahu atau mendapatkan informasi keliru seperti yang
kualami sebelumnya. Sebab, desaku termasuk desa dengan perspektif yang
monolitik, dan karena itu menjadi sangat fanatik. Ini yang membuat kehidupanku
sebelumnya relatif monolitik juga. Aku beruntung karena setelah lulus
pendidikan menengah pertama dan tentu saja belajar agama di rumah kepada bapak
dan ibuku, pernah di pesantren. Itu terjadi saat SMU selama tiga tahun. Kiaiku
NU-Masyumi yang bacaannya banyak. Namun, pergaulan di pesantren masih sangat
terbatas. Sementara akses internet untuk mengkonfirmasi sebuah informasi belum
seperti sekarang. Kupikir, HMI adalah ruang baru yang lebih luas untuk menambah
pergaulan dan tentu saja implikasinya juga wawasan.
Dalam forum itu, aku melihat
para aktivis HMI nampak lebih progresif. Mereka lebih berani dan percaya diri
menyampakan pandangan. Akhirnya kuputuskan untuk menjadi anggota HMI. Berselang
hanya beberapa pekan setelah itu, aku mengikuti LK I (Basic Training) di
sekretariat HMI Cabang Semarang.
Setelah kuingat-ingat kembali
rangkaian kejadian di dalam LK I itu, kadang-kadang aku tertawa sendiri karena
ada yang lucu. Sebab, aku ingat ternyata pada saat itu aku punya fanatisme
madzhab Imam Syafi'i. Ceritanya, setelah seolah dipaksa melakukan kritik
terhadap penyelenggaraan LK, aku mempersoalkan kamar mandi HMI Cabang Semarang
yang ukuran bak airnya kurang dari dua kulah, sehingga menurutku yang
bermadzhab Syafi'i rentan menjadi musta'mal. Walaupun kritikku itu kuberi
argumentasi: mayoritas umat Islam Indonesia bermadzhab Syafi'i, maka seharusnya
HMI memiliki bak air yang bisa menampung air sebanyak lebih dari dua kulah.
Padahal di rumahku sudah ada kitab al-Fiqh 'alaa Madzaahib al-Arba'ah yang
dibawa bapakku sepulang haji. Namun, pengaruh kitab-kitab fikih madzhab Syafi'i
ternyata sangat kuat. Memang, bisa dikatakan bahwa pelajaran fikih cukup
mendominasi. Belajar kitab Taqrib sudah kumulai sejak kelas IV SD lalu
kitab-kitab lain sampai lulus MA.
Yang pasti, fanatisme madzhab,
baik fikih maupun teologi, setelah mengikuti LK I itu perlahan hilang dalam
diriku. Bertemu dengan banyak kalangan, membuat wawasan menjadi terbuka. Bahkan
karena bertemu juga dengan para mahasiswa senior yang skepstis dan agnostik,
aku kemudian jadi liberal dengan tetap ada embel-embel muslim di depannya. HMI
menjadi rumah yang sangat asyik untuk diskusi, tanpa ada tabu. Semuanya bisa
didiskusikan tanpa batas sakral lagi.
Tak hanya diskusi, tetapi juga
aksi. Karena masih menjadi mahasiswa baru, aku baru bisa menyaksikan
senior-senior HMI saat itu berorasi di depan Masjid Baiturrahman dan lapangan
Simpang Lima menuntut reformasi. Selain orasi berapi-api dari para pimpinan
senat mahasiswa Undip dan Unissula yang juga merupakan aktivis HMI, ada kalimat
dari Kaiddin Sahir yang saat itu menjabat Sekum SMPT Undip: "Mahasiswa
harus bergerak, jangan hanya bergerak-gerak".
HMI menjadi makin menarik.
Dinamikanya kurasakan cukup lengkap. Aku sangat menikmatinya. Karena sangat
menikmati itu, saat aku baru semester III, dan saat itu aku baru saja menjabat
sebagai Sekum Komisariat Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo, aku sudah ikut SC
(Senior Course). Walaupun keikutsertaanku dalam SC sebenarnya lebih karena
suruhan, karena training ini sepi peminat, tetapi ini menjadi titik strategis
bagi perjalananku berproses di HMI. Saat itu, Ketum Cabang, Bang Asep Aonillah,
yang berasal dari Fakultas Ushuluddin memintaku untuk jadi peserta. Walaupun
sudah ada upaya khusus itu pun, pesertanya hanya 12 orang saja. Memang rerata
merasa tak mau repot atau bahkan tak sanggup menjalankan konsekuensi sebagai
instruktur yang harus bergelut dengan forum-forum pelatihan, dari LK ke LK.
Datang ke pelatihan HMI berarti hatus meluangkan waktu dan mengosongkan
kantong. Bagi mahasiswa, mengosongkan waktu mudah dilakukan. Namun, merogoh
kantong bagi yang uang kirimannya sudah sangat pas-pasan, tentu bukan urusan
mudah.
Karena telah dilantik menjadi
instruktur pelatihan, HMI menjadi kian menarik bagiku. Sebab, aku memiliki
kesempatan memasuki forum-forum yang pesertanya berasal dari berbagai perguruan
tinggi. Tidak hanya Unnes dan IAIN, tetapi juga Undip, Unissula, dan STIMIK
Dian Nuswantoro (sekarang UDINUS). Karena ada 25 komisariat di HMI Cabang
Semarang, dan beberapa diantaranya menyelenggarakan LK I lebih dari sekali,
maka nyaris sebagian hariku kuhabiskan di lokasi LK. Jum'at, Sabtu, dan Ahad
sampai Senin pagi, tempat tidurku adalah ruang pemandu LK. Alasnya tikar yang
disediakan oleh penitia.
Karena menghadapi mahasiswa
dari berbagai latar belakang, maka aku harus mempersiapkan diri dengan baik.
Jangan sampai terlihat bodoh di depan peserta. Apalagi memang forum LK ini
belum bisa dihadapi dengan benar-benar ikhlas lillaahi ta'ala. Rerata kami
masih kerasukan unsur campuran bernama "tebar pesona". Dengan kata
lain, para instruktur mengidap penyakit yang membuat mereka jadi manusia PPH
(penebar pesona dan harapan). Dengan berbagai motif yang bercampur baur itu,
daya belajar menjadi tinggi. Tujuannya agar bisa tampil makin menarik dengan
pengetahuan, wawasan, dan motivasi yang bisa membuat para peserta terbelalak,
tidak mengantuk. Di mana pun tempatnya, bahkan jika pun LK diselenggarakan di
desa pinggiran, kami tetap datangi dengan biaya sendiri. Tidak ada bayaran atau
ganti rugi, kecuali hanya sekedar makan nasi bungkus dengan lauk terbaik telur
rebus.
Yang pasti, semakin banyak
forum LK kuhadiri, pengetahuan, wawasan, pengalaman dan improvisasi dalam
nenyampaikan materi pelatihan menjadi makin bertambah dan terus semakin baik.
Forum-forum ini membuat menghadapi siapa pun menjadi biasa saja. Sudah tidak
ada lagi demam panggung di depan siapa pun. Oh ya, di forum LK I ini aku
bertemu istriku, walaupun sudah pernah melihatnya di rumah, karena ibunya
adalah Kohati yang juga dosenku.
Dari LK I, area
"bermain" meningkat ke LK II, dan SC di cabang-cabang lain di Jawa
Tengah dan kemudian ke seluruh Indonesia saat aku masuk PB HMI 2004. Ya, saat
PB HMI terbelah. Kalau tidak terbelah, tidak kebagian kapling. Juga LK III dan
pelatihan-pelatihan lainnya, termasuk LKK Kohati. Dalam forum-forum inilah, aku
sebenarnya diam-diam melakukan penelitian. Data yang kukumpulkan dari
forum-forum HMI yang kuanggap merupakan miniatur umat Islam Indonesia ini
kujadikan sebagai bahan untuk menyusun rencana aksi membangun lembaga
pendidikan yang lebih intensif, untuk melahirkan generasi baru yang sesuai
dengan harapanku. Ya generasi dengan kualitas muslim intelektual profesional
yang sesungguhnya. Ketiga kualitas itu harus ada dalam satu diri. Karena
itulah, aku kemudian mendirikan Monash Institute, sebuah rumah perkaderan yang
juga bisa disebut pesantren dengan progran beasiswa kuliah, yang seluruh
mahasantri di dalamnya wajib menjadi aktivis HMI. Sejak awal masuk, mereka
kuberi "imunisasi" paham liberal dan visi untuk menjadi guru-guru
kader, terutama dalam aspek keislaman. Mereka kuharapkan menjadi guru-guru
kader dalam pelatihan HMI yang bisa memotivasi untuk menjadi manusia yang
lurus, hanif.
SDM yang lahir dari rumah
perkaderan yang beberapa gedungnya persis di sebelah selatan UIN Semarang ini
kuajak untuk membangun sekolah alam, yang fokus dalam pendidikan di level dasar
dan menengah bernama Planet NUFO. Sembari menempuh pendidikan pascasarjana,
mereka kuajak untuk mempersiapkan generasi yang lebih muda, sehingga
pembinaannya bisa lebih lama. Di Planet NUFO, para siswa belia yang sebagiannya
adalah anak-anak temanku sesama aktivis HMI dari seluruh penjuru nusantara,
sudah sangat fasih menyanyikan hymne HMI.
Dari perjalanan itulah, aku
terus belajar untuk tetap semangat, dan memurnikan niat agar tarikan duniawi
makin berkurang. Hingga hanya karena Allah. Ya, bersyukur dan ikhlas. Yakin
usaha sampai. Selamat milad ke-74 HMI. *
0 Komentar