Ticker

6/recent/ticker-posts

Pendidikan yang Memerdekakan

Foto/Pixabay


'IR Soekarno, ijazah ini suatu saat dapat robek dan hancur menjadi abu. Dia tidak abadi. Ingatlah bahwa satu-satunya hal yang abadi adalah karakter dari seseorang.Kenangan terhadap karakter itu akan tetap hidup sekalipun dia mati' (Adams, 2014).

Kutipan tersebut ialah pesan dari Prof. Ir. G. Klopper ME., Rektor Sekolah Teknik Tinggi, ketika menyerahkan ijazah ingenieur kepada Bung Karno. Jarang yang ingat bahwa Bung Karno ialah insinyur jurusan teknik sipil dengan spesialisasi pekerjaan jalan raya dan pengairan. Ia lebih banyak dikenang sebaga proklamator kemerdekaan dan presiden pertama. Karakter tangguhnya dalam membela dan memperjuangkan republik ini yang selalu terekam di memori bangsa ini bukan gelar akademik yang dimilikinya.

Pesan sang profesor tersebut masih relevan sampai saat ini. Zaman di saat ijazah lebih diagungkan sebagai prestise. Proses untuk mendapatkan ijazah sering diabaikan. Orang tergila-gila menjembreng gelar yang dimiliki. Tak mengherankan jika beberapa waktu lalu dunia pendidikan kita dihebohkan dengan jual beli ijazah ataupun pemalsuan ijazah.

Secara tersirat, kata-kata tersebut mengingatkan kita agar jangan terlalu membanggakan gelar yang dimiliki. Ijazah merupakan tanda materiil bagi siapa saja yang telah menamatkan jenjang pendidikan tertentu. Bukit legal bahwa seseorang memang memiliki bidang keilmuan tertentu. Namun, ketika memasuki dunia kerja, kepemilikan kompetensi, sikap kerja, daya kritis, kreativitas, dan kepemimpinanlah yang menjadi penting.

Oleh karena itu, pendidikan tentu saja tak semata berurusan dengan angka-angka atau nilai-nilai akademik secara kuantitatif. Itu tidak hanya berkutat pada penguatan kemampuan kognitif. Proses pendidikan merupakan proses yang menyeluruh yang melibatkan olah pikir, rasa, dan karsa. Sebab yang didik ialah manusia-manusia yang memiliki jiwa, bukan robot yang mesti manut, otomatis menaati segala instruksi.

Beberapa pihak mengeluhkan kurang baiknya mentalitas maupun karakter anak-anak saat ini. Ada yang menyalahkan penetrasi globalisasi, tontonan yang tak mendidik, ataupun tak adanya keteladanan dari orang-orang dewasa. Tiap pendapat memiliki argumentasi masing-masing.

Urgensi akan pendidikan karakter kembali mengemuka ketika Presiden Jokowi meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy untuk memperkuat pendidikan karakter siswa di sekolah.

Upaya tersebut tentu didasarkan pada kesadaran bahwa kita tak boleh hanya bergantung kepada warisan sumber daya alam yang semakin terbatas, tetapi mesti fokus pada penguatan karakter anak bangsa, menciptakan sumber daya manusia berkualitas. Zaman terus berubah. Oleh karena itu, upaya yang dilakukan pemerintah harus memperhatikan bahasa zaman. Tapscott (2010) dalam bukunya, Grow Up Digital: How the Net Generation is Changing Your World, mengungkap generasi saat ini memiliki pola belajar, bermain, bekerja, berkomunikasi, maupun menciptakan komunitas yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka cerdas, cepat dalam bekerja, lebih toleran terhadap keberagaman, peduli terhadap isu-isu kemasyarakatan dan keadilan, juga aktif di berbagai komunitas sosial.

Dalam menyikapi generasi tersebut, orang dewasa, baik itu orang tua maupun guru, mesti sadar bahwa pola pengasuhan, pendidikan, dan jalinan relasi terhadap anak tidak bisa dilakukan secara konvensional.

Anak-anak tak bisa secara otomatis diposisikan sebagai objek yang harus selalu patuh karena mereka merupakan subjek otonom yang punya independensi dan pendapat sendiri. Oleh karena itu, dialog yang terbuka menjadi sangat penting. Kebiasaan berdialog membuat anak lebih terbuka terhadap beragam kemungkinan.

Apalagi arus deras informasi membuat anak menerima beragam perspektif yang belum tentu sejalan dengan pendapat orangtua, nilai budaya, nilai keagamaan, ataupun nilai kebangsaan. Di sinilah kesabaran orang tua untuk mendengarkan suara anak diuji. Orang tua harus bersetia pada proses, hati-hati dalam mengarahkan juga mengakomodasi keinginan dan ide-ide anak. Mendidik anak tidak bisa dilakukan secara instan. Butuh proses panjang yang melelahkan.

Di sekolah, pola pembelajaran yang hanya tersentral pada guru harus diubah. Guru harus cermat memosisikan perannya sebagai pendamping dan fasilitator. Mereka harus menjadi teladan, role model yang pantas untuk selalu digugu dan ditiru dalam penguasaan materi maupun laku harian.

Freire (2007) sangat mengkritik guru yang memosisikan dirinya sebagai sosok yang tak dapat disentuh dan dikritik sehingga menempatkan dirinya lebih tinggi daripada siswa.Siswa harus menerima setiap apa pun yang disampaikan guru. Seharusnya guru menampilkan wajah penuh kasih sayang dan tidak berjarak dengan siswa. Freire memandang belajar merupakan pekerjaan yang cukup berat, menuntut sikap kritis-sistemis. Siswa harus dilatih dan berlatih cara berpikir dalam mengamati setiap persoalan dan mengalisisnya secara kritis.

Pada dasarnya, anak mesti diberi keleluasaan untuk mengembangkan potensi dasar yang dimilikinya. Orang tua dan lembaga pendidikan harus secara jeli memetakan potensi anak. Anak harus banyak diberi ruang aktualisasi yang lebih banyak. Keuntungan melimpahnya sumber belajar di internet harus dikelola dengan baik. Manajemen pengelolaan sumber belajar dan mengelola informasi secara efektif menjadi sangat penting di era digital saat ini.

Negeri ini membutuhkan anak-anak muda yang tak hanya mencari pekerjaan, tapi menciptakan pasar kerja baru. Anak-anak bangsa seperti Nadiem Makarim (Go-Jek), Achmad Zaky (Bukalapak), Reza Nurhilman (Ma Icih), Andrew Darwis (Kaskus), dan banyak lainnya dapat menjadi contoh nyata.Inovasi, kreativitas tinggi, dan semangat pantang menyerah, disertai pemanfaatan teknologi dan infomasi untuk menunjang kegiatan usaha yang mereka rintis, membuat perbedaan siginifikan. Hal tersebut berefek pada keberhasilan mereka.

Perusahaan-perusahaan yang mereka kembangkan membuka peluang kerja bagi masyarakat. Usaha kreatif tersebut menyerap tenaga kerja, berkontribusi mengurangi angka pengangguran serta memperkuat fundamen ekonomi bangsa. Dan yang paling penting mereka memberi inspirasi bagi anak-anak muda di Indonesia.

Survei My World 2015 yang dirilis United Nations Population Fund (UNFPA) mencatat pendidikan, kesehatan, disertai peluang pekerjaan yang baik akan membuat perbedaan besar seseorang untuk meraih kesuksesan.

Dengan demikian, negara harus hadir dan mengakomodasi proses pendidikan tersebut, menjamin kesehatan, juga menciptakan peluang kerja yang luas bagi masyarakat. Menunaikan janji yang tercantum pada tujuan negara di pembukaan UUD 1945.

Persemaian tunas-tunas bangsa yang memiliki kreativitas tinggi, karakter yang kuat, dan kritis diharapkan mampu membantu menyelesaikan setiap persoalan dan mendobrak kebuntuan bangsa ini. Kesemuanya dapat tercapai jika proses pendidikan di negeri ini mampu memerdekaan anak.Pendidikan yang memerdekakan akan memunculkan semua potensi yang ada pada diri anak. Merdeka!

Penulis : Anggi Afriansyah

Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI

Sumber : www.mediaindonesia.com

Posting Komentar

0 Komentar