foto : google/pixabay.com |
Kegaduhan yang terjadi saat penyelenggaraan Kongres Ke-29 HMI di Pekanbaru, Riau, sungguh membawa keprihatinan mendalam. Gejala demoralisasi dan keterbelahan jamak terjadi dalam masyarakat kita dan dipertontonkan sehari-hari lewat media.
Tetapi, sangat
disayangkan jika fenomena seperti itu juga terjadi di organisasi HMI, yang
merupakan wadah para intelektual muda. Itulah kurang lebih intisari
keprihatinan Sulastomo, ketua umum PB HMI 1963-1966, dalam sebuah kesempatan
berdiskusi dengan beliau. Keprihatinan ini tentu saja mewakili banyak orang dan
banyak kalangan. Keprihatinan seperti ini wajib direnungkan dan dijadikan bahan
otokritik untuk perbaikan ke depan.
Sebagai tambahan, bukan
hanya kekerasan di arena kongres yang menjadi soal, tetapi juga fenomena
politik uang yang selama ini terjadi di jagat perpolitikan Tanah Air,
ruparupanya sudah mulai pula menggejala dalam interaksi di HMI.
Dalam setiap momentum
politik HMI, isu jual beli suara, pilihan politik di barter dengan uang dan
benda-benda berharga lainnya, termasuk menyewakan sekretariat dan
memberangkatkan penggembira ke lokasi kongres sudah bukan rahasia lagi. Kebiasaan
melangsungkan kongres yang molor sangat lama sepertinya telah mentradisi.
Kegaduhan demi kegaduhan
membuat sulit para peserta untuk menyelesaikan kongres tepat waktu. Tidak
ternilai dampak dari berlarut-larutnya dua Kongres HMI terakhir, di Jakarta
pada 2013 selama sebulan dan di Pekanbaru beberapa bulan lalu, berlangsung
selama dua minggu.
Selain itu, fenomena
demonstrasi bayaran atau pesanan, demonstrasi yang merusak fasilitas umum,
prilaku pemerasan, dan sebagainya juga patut menjadi keprihatinan bersama.
Tidak bisa ditutupi lagi bahwa tindakan semacam ini juga seringkali dituduhkan
kepada beberapa anggota HMI.
Kendati hal seperti ini
hanya dilakukan oleh segelintir orang, prilakunya jelas-jelas mencoreng muka
organisasi dan keluarga besar HMI. Dampak dari kisah memilukan tentang prilaku
ini sangat cepat menyebar di media utama, online , maupun media sosial.
Informasi yang buruk tersebut jelas merusak citra HMI, mengurangi kepercayaan
organisasi di mata publik. Akibat paling nyata, ada kesulitan bagi pengurus
untuk melakukan perekrutan anggota baru.
Dimana Nilai-Nilai HMI?
Apakah nilai-nilai
ke-HMIan sudah luntur sedemikian rupa? Penting untuk diketahui bahwa visi dan
misi HMI tak pernah berubah sejak berdiri 5 Februari 1947 yakni untuk berkontribusi
terhadap umat dan bangsa. Dengan begitu, HMI bukan hanya Himpunan Mahasiswa
Islam, tapi juga harus selalu menjadi harapan masyarakat Islam dan harapan
masyarakat Indonesia.
Dalam tafsir tujuan HMI
bahkan menyiratkan bahwa dalam diri kita sebagai manusia ada potensi dasar atau
modal primordial. Potensi tersebutlah yang akan menjadikan setiap kader sebagai
insan kamil (manusia sempurna) dengan lima kualitas insan cita yakni insan
akademis, pencipta, pengabdi, bernafaskan Islam, dan insan yang bertanggung
jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur.
Kesadaran dan
konsistensi sikap dalam mewujudkan tujuan HMI tersebut, sebelum lebih jauh
berdampak terhadap masyarakat dan juga bangsa, tentu ukuran sederhananya pada
kondisi HMI itu sendiri. Sejak berdiri hingga sekarang HMI secara terus-menerus
melakukan pengaderan dengan patokan nilai tersebut.
Melalui pengaderan
tersebut, HMI saat ini memiliki sekitar 500.000 anggota dan alumni HMI (KAHMI)
berjumlah sekitar 6 juta orang. Alumni HMI tersebar di semua level, pada level
kepemimpinan nasional, ada yang duduk sebagai wakil presiden, menteri,
kepemimpinan daerah seperti gubernur, bupati, hingga kepala desa.
Alumni HMI juga tersebar
tidak hanya di eksekutif, tapi juga legislatif dan yudikatif, sebagai ketua
DPR, ketua MPR, ketua BPK, ketua KPU, ketua Bawaslu, dan sebagainya. Nama besar
HMI tentu merupakan modal sosial-politik yang relatif bisa dibanggakan. Namun,
kebanggaan tersebut bisa menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi bisa menjadi
pemicu prestasi dan perilaku baik, di sisi lain bisa memunculkan sikap
arogansi dan perilaku tidak terpuji.
Arus Perubahan
Dalam sebuah focus group discussion (FGD) kerja sama
Balitbang PB HMI dengan Bappenas pertengahan 2015 tergambar pergeseran dari era
analog ke era digital. Kompetensi dan profesionalisme harus melenting ke depan
menjadi keunggulan. Karakter inward
looking harus sudah bergeser menjadi outward
looking, kebiasaan membangga-banggakan ke dalam harus disertai dengan
mempertontonkan keunggulan kita keluar.
Doktrin keislaman keindonesiaan yang
melekat dalam diri anggota HMI seharusnya menjadi sumber kekuatan. Sikap Islam
yang toleran, moderat, dan modern menjadi perekat perbedaan dalam relasi
hubungan interpersonal antarumat beragama dan bangsa Indonesia.
Energi ini yang harus
diarahkan keluar agar tidak hanya milik HMI dan Indonesia, tetapi juga harus
menjadi inspirasi negara-negara lain dalam mengelola perbedaannya, khususnya
bagi negara mayoritas penduduk muslim yang selama ini mengalami kondisi perang.
Dengan kondisi seperti ini, bukan hanya bangsa ini yang menaruh harapan besar
terhadap HMI, tapi juga dunia dalam menyemai keberagaman.
Dalam sebuah kesempatan
berkunjung ke Lebanon, di tengah konferensi untuk Palestina, saya menyampaikan
hal yang sama. Dari hal tersebut apa yang dilakukan HMI selama ini mendapatkan
apresiasi, bahkan diklaim sebagai organisasi mahasiswa Islam terbesar di dunia.
Pada momen Dies Natalis
Ke-69 HMI pada 5 Februari 2016 kemarin, tak hentinya kita merefleksikan apa
yang sudah kita lalui juga memproyeksikan akan ke mana kita. Bukan cuma mereka
yang masih terlibat aktif di semua level kepengurusan, tapi juga bagi mereka
yang pernah menjadi bagian dan pernah melewati proses di HMI.
Segala keunggulan yang
kita miliki disertai kekuatan membaca zaman dan komitmen untuk berubahlah yang
membuat kita tak harus kehilangan harapan untuk masa depan HMI yang lebih baik.
Usia baru harus berkonsekuensi pada kebaruan pikir juga sikap untuk menjadi
arus kecil yang kemudian akan menjadi gelombang besar untuk perubahan HMI.
0 Komentar